Kisah Orang Kaya Berputeri Tunggal yang Akan Sedekah 2/3 Hartanya Ketika Sakit Keras Tapi Dilarang oleh Nabi

Kisah Orang Kaya Berputeri Tunggal yang Akan Sedekah 2/3 Hartanya Ketika Sakit Keras Tapi Dilarang oleh Nabi. Berikut ini adalah kisah seorang sahabat Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam bernama Sa'ad bin Abu Waqqash yang disebutkan dalam Riyadhus Shalihin karya Imam An-Nawawi. 

Kisah yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim (Muttafaq 'alaihi) ini mengkisahkan ketika Sa'ad bin Abi Waqqash sakit keras dan sedang dijenguk oleh Nabi Muhammad Shalallahu'alaihi wa sallam, dalam dialognya diantaranya muncul keinginan Sa'ad yang untuk mensedekahkan dua pertiga harta yang dimilikinya. Namun, keinginan Sa'ad tersebut dilarang oleh Nabi. Seperti apa kisahnya? Baca langsung di bawah ini. Semoga bermanfaat.   

Dari Abu Ishak, yakni Sa'ad bin Abu Waqqash, yakni Malik bin Uhaib bin Abdu Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Luai al-Qurasyi az-Zuhri r.a., yaitu salah satu dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga radhiallahu 'anhum, katanya:

Rasulullah s.a.w. datang padaku untuk menjengukku pada tahun haji wada' - yakni haji Rasulullah s.a.w. yang terakhir dan sebagai haji pamitan - kerana kesakitan yang menimpa diriku, lalu saya berkata: 

"Ya Rasulullah, sesungguhnya sakitku ini telah mencapai taraf sebagaimana keadaan yang Anda lihat, sedang saya adalah seorang yang berharta dan tiada yang mewarisi hartaku itu melainkan seorang puteriku saja. Maka dari itu apakah dibenarkan sekiranya saya bersedekah dengan dua pertiga hartaku?" 

Beliau menjawab: "Tidak dibenarkan." 

Saya berkata pula: "Separuh hartaku ya Rasulullah?" Beliau bersabda: "Tidak dibenarkan juga." 

Saya berkata lagi: "Sepertiga, bagaimana ya Rasulullah?" 
Beliau lalu bersabda: "Ya, sepertiga boleh dan sepertiga itu sudah banyak atau sudah besar jumlahnya."

"Sesungguhnya jikalau engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya-kaya, maka itu adalah lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta pada orang banyak. Sesungguhnya tiada sesuatu nafkah yang engkau berikan dengan niat untuk mendapatkan keridhaan Allah, melainkan engkau pasti akan diberi pahalanya, sekalipun sesuatu yang engkau berikan untuk makanan isterimu." 

Abu Ishak (Sa'ad) meneruskan uraiannya: Saya berkata lagi: "Apakah saya ditinggalkan - di Makkah - setelah kepulangan sahabat-sahabatku itu?" 

Beliau menjawab: "Sesungguhnya 
engkau itu tiada ditinggalkan, kemudian engkau melakukan suatu amalan yang engkau maksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah, melainkan engkau malahan bertambah derajat dan keluhurannya. Barangkali sekalipun engkau ditinggalkan - kerana usia masih 
panjang lagi -, tetapi nantinya akan ada beberapa kaum yang dapat memperoleh kemanfaatan dari hidupmu itu - yakni sesama kaum Muslimin, baik manfaat duniawiyah atau ukhrawiyah - dan akan ada kaum lain-lainnya yang memperoleh bahaya dengan sebab masih hidupmu tadi - yakni kaum kafir, sebab menurut riwayat Abu Ishak ini tetap hidup sampai dibebaskannya Irak dan lain-lainnya, lalu diangkat sebagai gubernur di situ dan menjalankan hak dan keadilan. 

Ya Allah, sempurnakanlah pahala untuk sahabat-sahabatku dalam hijrah mereka itu dan janganlah engkau balikkan mereka pada tumit-tumitnya - yakni menjadi murtad kembali sepeninggalnya nanti. 

Tetapi yang miskin - rugi - itu ialah Sa'ad bin Khaulah.” Rasulullah s.a.w. merasa sangat kasihan padanya sebab matinya di Makkah. (Muttafaq 'alaih) 

Keterangan: 
Sa'ad bin Khaulah itu dianggap sebagai orang yang miskin dan rugi, kerana menurut riwayat ia tidak mengikuti hijrah dari Makkah, jadi rugi kerana tidak ikutnya hijrah tadi. 

Sebagian riwayat yang lain mengatakan bahwa ia sudah mengikuti hijrah, bahkan pernah mengikuti perang Badar pula, tetapi akhirnya ia kembali ke Makkah dan terus wafat di situ sebelum dibebaskannya Makkah saat itu. Maka ruginya ialah kerana lebih sukanya kepada Makkah sebagai tempat akhir hayatnya, padahal masih di bawah kekuasaan kaum kafir. Ada lagi riwayat yang menyebutkan bahwa ia pernah pula mengikuti hijrah ke Habasyah, mengikuti pula perang Badar, kemu-dian mati di Makkah pada waktu haji wada' tahun 10, ada lagi yang meriwayatkan matinya itu pada tahun 7 di waktu perletakan senjata antara kaum Muslimin dan kaum kafir. Jadi kerugiannya di sini ialah kerana ia mati di Makkah itu, kerana kehilangan pahala yang sempurna yakni sekiranya ia mati di Madinah, tempat ia berhijrah yang dimaksudkan semata-mata sebab Allah Ta'ala belaka.

Wallahu a'lam bish-shawaab