Layangan Putus by Mommi ASF ~ Part 1 dan 2

Sekolaahmuonline - Layangan Putus by Mommi ASF ~ Part 1 dan 2. Pembaca Sekolahmuonline, baru-baru ini viral di media sosial sebuah cerita dari akun Facebook bernama Mommi ASF yang berjudul Layangan Putus. Di Twitter tagar #layanganputus juga jadi trending topik. Ada apa sebenarnya, dan seperti apa kisahnya? Bagi Anda yang belum baca kisahnya, berikut ini Sekolahmuonline ikut memostingnya untuk Anda, karena ikut haru dan gemes geram. Baca saja sendiri kisahnya yaaa. Selamat membaca. 

Layangan Putus (Part 1)

"Mommi aku mau kumon habis ini," ucap anak sulungku. Aku menatapnya sedikit tak percaya.

"Abang enggak capek sayang?" "Enggak kok, kan aku kumon kan? Matematika ya mommi?" Aku tersenyum mendengarnya. Kita masih setengah perjalanan menuju rumah dari sekolah.

Amir, anak sulungku genap berusia 8 tahun awal bulan ini. Sekarang dia sudah duduk di kelas 2 sekolah dasar. Tahun lalu dia memang mengambil kelas Bahasa Inggris dan matematika di kumon. 

Namun kami putuskan untuk berhenti mengambil subjek Bahasa Inggris karena Amir lebih tertarik belajar di English First. Lembaga les bahasa asing yang menitik beratkan pada latihan percakapan menggunakan Bahasa Inggris. 

Tak berselang lama matematika pun harus dihentikan, sebab bertabrakan dengan jadwal sekolah dan kegiatan ekstrakurikuler. Tetapi hari minggu kemarin, kudampingi dia mengerjakan PR di buku tematik. 

Amir terlihat kepayahan dalam menyelesaikan soal matematika. Padahal saat masih belajar di kumon dia sangat lancar menjawab hitungan sederhana. 

Iseng aku tawarkan untuk kembali mengambil bimbingan matematika di kumon, dengan catatan berhenti sejenak les di EF, dengan tidak mengambil term selanjutnya. 

Selain karena sisa waktunya yang terbatas aku juga mengkhawatirkan biayanya. Ternyata responsnya cukup baik, terbukti dia menanyakan hal ini.

"Abang hari ini belum kumon dulu, mommi kan belum daftar ulang, insyaalloh bulan depan ya, doain mommi ada rezeki untuk bayar les kumon nya ya."

"Hmm mommi enggak punya uang ya?" Pertanyaan polosnya membuat aku tersenyum. Tersirat dari ucapannya, dia mengerti kondisi keuangan kami tidak sebaik tahun tahun sebelumnya, juga ada rasa ngilu karena apa yang diucapkan Amir ada benarnya. 

"Mmm sekarang belum. Belum loh bukan TIDAK ada. Kalau buat belajarnya abang, mommi yakin nanti akan ada uangnya."

Dia mengangguk dan kembali mengikuti lantunan murottal Ibrahim el-haq dari audio mobil. 45 menit kami berkendara akhirnya sampai dirumah. Kuparkir dengan rapi dan kumatikan mesin mobil.

"Abang mandi ya sayang seger-segerin badamnya. Istirahat sebentar, sambil siap-siap ke masjid ya. Mommi mau bangunin adek ya."

Amir turun dari mobil dan masuk ke dalam kerumah, sementara aku membangunkan pelan Arya yang tertidur di kursi belakang. Kukeluarkan barang barang bawaan sekolah anak anak yang masih tertinggal di mobil seraya menggendong putra kedua ku. 

Disambut Abi, putra keempatku dari dalam rumah, "Mommi...." Dengan membuka kedua tanganya, ia meminta ku peluk. 

Aku memang mengajarkan anak anaku setiap kali berjumpa harus saling peluk. Ya kami adalah team hugger. Tapi kali ini di dekapanku ada Arya, sehingga aku hanya menyambut Abi dengan senyuman dan mimik bahagia. 

"Adeeeek... sini sini sini." Kuarahkan ia ke sofa ruang tamu, kuletakkan pelan Arya yang juga mulai terjaga, kemudian kudekap erat Abi. 

"Assalamualaikum sayang..." Kuhujani pipinya dengan ciuman bertubi-tubi. "Mmmmmmmhhhuuuaaahhh." Ia pun membalas mencium pipiku..

Arya yang sudah terbangun kupinta segera menyegarkan diri. "Alman ngaji mba?" Kutanya asisten rumah tanggaku yang sibuk merapikan tas anak anak.

"Iya bu," jawabnya singkat dan berusaha mengajak Abi main keluar. "Ayok Abi, main sepeda, biar mami mandi dulu ya." 

Azan magrib berkumandang. Alman anak ketigaku pulang kerumah setengah jam yang lalu. Oa bersemangat menemuiku dan memamerkan hasil tulisan Arabnya yang di nilai 90 oleh guru mengajinya. 

Bahagia itu sederhana. Dia senang sekali mendapat hadiah permen dari ustazah karena sudah berhasil menghapal surah Al-Asr. 

Amir, Arya, dan Alman berlomba meraih tanganku untuk berpamitan, bergegas menuju mushola dan berlari, berlomba siapa yang lebih dulu sampai untuk menunaikan ibadah salat magrib. 

Haru bahagia menyeruak ke dadaku. MasyaAlloh. Bahagia itu sederhana. Mushola memang tak berjarak jauh dari rumah. Hanya terhalang satu rumah dari tempat kami tinggal. 

Anak-anak sudah biasa berangkat sholat dan mengaji sendiri. Ini salah satu yang membuat aku terus berusaha mempertahankan rumah ini. 

Lokasi mushola yang sangat dekat dari rumah dan rasa kekeluargaan yang sangat erat antar tetangga ditengah keberadaan minoritas kami, menjadikanku sangat nyaman dan betah di sini.

Anak-anak masih belum pulang dari mushola, mereka mengerjakan sholat isya di sana. Arya memang tidak pulang sedari magrib tadi, berbeda dengan kakak dan adeknya. 

Amir dan Alman memilih makan malam selepas magrib di rumah. Sedangkan Arya di hari senin dan kamis terbiasa ikut buka puasa sunnah bersama di mushola. Kulipat mukena dan sajadah ku, kurapikan tempat tidur kami.

Geruduk geruduk duk duk..Langkah kaki anak-anak berlomba menaiki tangga menyerbu masuk ke kamarku. "Assalamualaikum..." teriak mereka hampir bersamaan. Masing-masing antri memelukku. 

"Mommi tadi makannya pakai sateeee" laporan Arya.  "Hooo abang Arya tadi gak pulang setelah magrib makan di mushola toh?" Aku pura-pura tidak tahu. "Iyaa ini kan senin."

"Hooo iya ya hehe.. mommi ga dibawain sate nih?" ucapku menggoda nya. "Weeee ga boleeh.. kalau mau mommi ke mushola aja besok besok." Aku hanya tersenyum mendengarnya. 

Kupinta mereka segera berganti baju, bersikat gigi dan pipis. Kutanya mereka apakah ada tugas sekolah atau tidak. Kompak semua menjawab tidak ada. 

Jadi kami habiskan malam itu dengan bermain di Kasur, mencoba jurus asal asalan ala boboiboi, kartun kesukaan mereka yang berasal dari negeri seberang. 

Hingga waktu nya tidur tiba, pukul 21.00. Tak jarang waktu tidur akan tiba lebih awal kalau salah satu diantara mereka mengalami 'kecelakaan' dalam bercanda. Signal kecelakaan muncul jika salah satu atau dua atau tiga atau bahkan keempatnya menangis. 

Kupandangi wajah mereka satu satu, terlelap dalam ketenangan malam. Kuciumi mereka dan terus kubisiki kata maaf. Kuusap rambut mereka perlahan, kembali kata maaf yang terucap untuk mereka.

Aku, 32 tahun, perantauan dari pelosok daerah. Hidup di bali sudah 14 tahun. Aku menjalani Pendidikan dokter hewan di Universitas Negeri Udayana tahun 2004. Pulang kampung 2011 hanya untuk menikah, kemudian kembali ke Bali karena suamiku bekerja di sini.

Suamiku, yang kini sudah resmi menjadi mantan. Perbedaan umur 7 tahun bukan jaminan sebuah hubungan akan berjalan tanpa hambatan. Aku resmi menjadi janda setelah 8 tahun pernikahan. 

Walau aku sudah menemaninya dari tahun 2005. Total aku mengenalnya adalah 14 tahun. Pernikahan kami menghasilkan 5 orang anak. Anak bungsuku meninggal saat kulahirkan 4 bulan lalu.

Istigfar tak lepas dari bibir dan hatiku, kupandangi terus wajah anak anakku, kuucapkan maaf di sela sela istigfarku. 

"Maafin mommi ya nak, semua tidak akan mudah seperti dulu, kita belum bisa liburan, kemping bersama, membuat api unggun, membakar kayu.. untuk sekarang.. tapi Alloh pasti beri jalan.. pasti kalau kita mau bersabar kita akan liburan kemanapun abang mau.." lirih kubisikan ke telinga Amir, kuciumi pelan pipinya

"Arya anak sholeh, hari kamis puasa sunnah beneran ya nak, insyaAlloh robot yang Arya mau akan ada jalanya nanti kita beli, semangat hapalan quran ya sayang.. mommi minta maaaf Arya belum bisa beli mainanya sekarang ya." Kusapu lembut pipinya yang basah terkena airmataku. Tak terasa aku menangis.. 

"Mommi minta maaaaaaaf ya adek,, adek kangen daddy insyaAlloh ketemu weekend ya nak.. doakan daddy sehat ada waktu untuk main lagi sama Alman ya." Kali ini aku terisak pelan. Kutahan sesenggukku karena Alman merespons dengan mengubah posisinya. Aku takut membangunkanya. 

Teringat pertemuan terakhir mereka, Alman menangis mendengar suara mobil daddy nya pergi. Terakhir Abi.. hanya pelukan yang sanggup kuberikan pada bayiku yang masih berusia 2 tahun ini. Kuciumi ubun-ubunnya. Sambil kutiup pelan dan kusematkan doa "Robbi habli minash sholihiin" berulang kali.

Istigfar berulang ulang kali kulantunkan. Teringat spp Salman yang belum kulunasi. Dan siang ini aku mendapat surat cinta dari PLN. Seorang petugas menaruh surat peringatan akan adanya pemutusan sementara aliran listrik bila tidak segera melakukan pembayaran. 

Berbagai kekhawatiran melintas di pikiran. Seperti layangan putus, rasanya badan ini pengen oleng mengikuti kemana angin bertiup. 'Grooook...fiuuuhhh...ggrrkkk...fuuuuh..' suara dengkuran abang Amir membuyarkan lamunanku. 'Astagfirullah wa atubu illaih....' Aku keraskan zikirku, kusadarkan diriku. 'Astagfirullah...' Kulihat kembali malaikat malaikat mungilku satu persatu.

Aku punya Alloh untuk bersandar, tidaklah aku harus panik. Daddy mereka boleh saja memutus komunikasi denganku, ibu dari anak anaknya, bersikap acuh dan mencabut segala fasilitas di rumah ini, menghapus sopir untuk anak anak, dan tidak mau men-suport biaya hidup anak anak, biaya pendidikan dan kesehatan. 

Aku punya Alloh untuk bersandar. Aku punya Alloh untuk meminta dan memohon. Anak-anakku akan jadi anak bahagia yang sukses dunia dan akhirat. 

Kutatap wajah wajah polos mereka yang tanpa dosa, suatu saat nanti mereka akan menjadi orang-orang hebat yang menerangi dan bermanfaat orang orang di sekelingnya di mana pun mereka berada.

Aku hapus airmataku, kuteguk air putih yang memang sudah disiapkan embak ku setiap hari sebelum kami menuju tidur. Berjalan aku menuju kamar mandi dan berniat melakukan sholat sunnah 2 rakaat sekadar untuk curhat dengan Alloh. Tapi sebelum sampai kamar mandi langkahku terhenti melihat ponsel ku bergetar. 

Ah panggilan dari nomor tak dikenal. Kulihat jam sudah menunjukan hampir tengah malam. Aku memilih tidak mengangkat telepon dari nomor tak dikenal diwaktu menjelang tengah malam. Kulanjutkan menuju kamar mandi. Kutunaikan niatku untuk sholat sunnah. Berlama lama aku sujud memohon ampun, curhat kepada sang pencipta. Sajadahku basah oleh airmata. 

Aku terbangun dari sajadahku, tergopoh mendatangi Abi dan mengambil botol kosong, kuisi segera dengan susu UHT yang sudah tersedia di meja samping tempat tidur. Kuberikan ke bibir mungilnya, seketika tangisnya berhenti. 

Aku bersiap melanjutkan tidur, kucari dulu ponselku karena ingin memundurkan alarm subuh. Aku ingin istirahat lebih lama karena kurasakan kepala ini masih sakit akibat menangis semalam, dan sepertinya mataku bengkak.

'Neneeeeeeeek im coming home! C u next week di bali! Sambut gue dengan tari hula hula.lets start some business. I love you' isi pesan singkat dari nomer handphone itu.

Ternyata semalam telepon dari Dita. Sahabatku saat kuliah dulu. Dia memang mengabarkan akan kembali ke Indonesia setelah bekerja sebagai dokter hewan di Canada selama dua tahun. 

'Alhamdulillahilladzii bini'matihi tatimmusshoolihaat.' Dita mungkin bukan jawaban dari segala permasalahanku, tapi pesan singkatnya tidak mungkin sebuah kebetulan. Allah yang Maha Baik yang mengatur segala pertemuan dan perpisahan. 

Melalui pesan nya Dita membangkitkan semangatku. Bismillah, kedukaanku hari ini bukanlah akhir dunia. Dengan menyebut nama Alloh kupeluk Abi yang masih sibuk menyedot botolnya sambil terpejam. Kupasrahkan hidup dan matiku esok pada hanya kepada Alloh pemilik alam semesta.

Layangan Putus (Part 2):

19 September 2019

Lembar putusan Pengadilan Agama mengenai perceraian sudah ku terima. Aku hela nafas panjang. Lega, sedih, sesak, bercampur di setiap hembusan nafas. Aku baca lagi berulang.

"Alhamdulillah" batinku, berusaha menyempatkan untuk bersyukur dalam setiap keadaan.

Resmi sudah aku sendirian. Aku yang bertanggung jawab atas diriku sendiri, dan menanggung segala keputusan ke depan.

Seperti kehilangan satu kaki, aku berusaha tetap tegak melangkah. Pun selama setahun setengah menjalani poligami, yang aku rasakan memang kakiku sudah sakit sebelah. Ibarat dalam sisi medis, saran terbaiknya adalah mengamputasi kaki yang sudah luka dan membusuk. Sebelum menjalar menyakiti organ lainya.

Tin tiiin tiiiin

Klakson mobil di belakang mengagetkanku, aku sadar dan memacu mobilku menuju rumah. Aku bergegas mandi sesampainya di rumah. Jarang aku berlama lama di kamar mandi. Tapi, kali ini, aku betah berdiri dibawah kucuran air.

**

12 February 2018

Selesai subuh, aku mencari suami, ingin menggodanya. Semalam, ia tak masuk kamar melihatku, atau sebenarnya dia sudah melakukannya, saat aku tertidur lelap. Ku buka kamarnya, sepi.

"Oh, mungkin belum pulang sholat subuh dari mushola," batinku. Tapi, terlihat kamar masih rapi. Selimut terlipat, bantal dan guling masih tersusun. Tidak terlihat kasur yang habis ditiduri.

Aku bingung, suamiku tidak izin menginap di kantor. Ku ambil ponsel dan menghubunginya. Tersambung, tapi tidak ada jawaban. Kuulangi hingga berkali kali. Nihil.

Ku lihat jam sudah menunjukan pukul 6 pagi, langit sudah terang, gak mungkin dia di mushola selama ini. Aku mulai jengkel, kutelepon supir kantor. Ku cecar Selamet dengan pertanyaan.

"Lho Mba, sampeyan kan, istrinya! Moso mas Arif ga ada ngabarin?" jawab Selamet kaget.

"Ke mana dia?"

"Ga tau aku mba! Cuma nganter ke bandara tok wingi (kemarin)...."

Reflek ku periksa brankas mini yang terletak dilemari. Pasportnya tidak ada. Berbagai pikiran berkecamuk di kepalaku. Aku duduk dikamarnya mencari pentunjuk.

Semenjak anak keduaku lahir, memang suami lebih nyaman tidur di kamar ini. Kecil tapi tenang baginya, tidak terganggu suara tangis bayi.

Setiap pulang kantor seringnya malam hari, rutinitas kami adalah bercengkrama di ruang tv sampai lelah. Dia terkadang mengajakku bercerita di kamar ini sampai terlelap. Kemudian aku pindah ke kamar utama kami, karena di sanalah anak-anak kami tidur. Arya masih sering terbangun tengah malam berteriak mencariku, minta dipeluk.

Ku sadari kameranya tidak ada. Kemarin, dia memang pamit akan pemotretan untuk liputan motor BMW, karena itu, koper cabinnya yang berisi kamera dibawa serta. Tak ada pikiran aneh. Aku percaya semua kalimat suamiku. Tapi, kenapa dia pergi tidak jujur padaku! Ke mana dia?

Aku ingat lagi, kemarin tidak ada yang aneh, tidak ada yang salah. Sebelum dia pergi dari rumah, kami bercumbu mesraaaa sekali. Hubungan kami bahkan sedang hangat hangatnya. Dia sering menggodaku belakangan ini. Dan aku sedang hobi mengumpulkan lingerie untuk menyenangkannya.

Kami sedang semangat berolahraga agar lebih fit. Sehingga Ranjang kami hidup sekali. Terlebih lagi, aku sangat percaya dia. Dia pemilik channel dakwah di YouTube. Mas Arif paham, menyentuh lawan jenis adalah haram baginya. Bahkan, menundukkan pandangan terhadap wanita non-mahrom adalah kewajiban. Aku percaya betul suamiku.

Tapi, ke mana dia?

24 Februari 2018

Hatiku berdebar menjemput suamiku di bandara. Akhirnya, setelah 12 hari pencarian, dia mengabarkan akan pulang. Mas Arif memintaku menunggu di rumah. Tapi rasa khawatirku memuncak sudah. Aku tidak bisa duduk manis menunggunya di rumah. Segera ku pacu mobil menuju bandara.

Teringat, 10 hari lalu, aku penuh kebingungan mencarinya, semua kemungkinan berkecamuk di kepalaku. Apakah ia pergi dari rumah tanpa kabar untuk jihad? Apakah ia ke Timur Tengah? Karena salah satu ustadz kenalan kami ada yang pernah mengajaknya meliput ke Suriah saat itu. Misinya untuk membuka mata dunia bahwa Suriah butuh pertolongan.

Ku tangisi niatnya saat itu. Aku tak rela dia pergi ke Timur Tengah. Karena itukah, dia saat ini pergi tanpa pamit? Atau apakah dia bermasalah dengan pihak bea cukai dan kemudian ditahan? Atau dia sedang terancam bahaya? Diculik dan diancam pihak lawan bisnis?
Aku tak yakin dengan semua firasat tentang kepergiannya. Yang ada hanya kecemasan yang luar biasa.

Sepuluh hari lalu akhirnya teleponku diangkat olehnya.

"Mbi aku titip anak anak," ujarnya buru buru.

"Kamu mau kemana? Kamu mau ke manaaa?" cecarku.

"Aku di Jakarta! Mas, pergi dulu. Kamu di rumah baik-baik sama anak-anak ya. Aku titip anak-anak ya, Mbi. I love you." bip bip bip... terputus.

Tidurku tak tenang. Makanku tak nyaman. Duniaku berhenti berputar. Aku terus bertanya ke mana? Di mana? Kenapa bisa dia pergi? Apa yang disembunyikan dariku?

Rekan kerjanya kudatangi untuk mencari info, nihil. Kerabat yang berposisi AKBP, kupinta bantuan melacak nomor gawainya, gagal.
Nomor terdeteksi di daerah pelosok Jawa Tengah. Namun, kerabatku menyatakan bahwa pelacakan satelit belum tentu akurat. Hingga Ku cari hacker untuk menemukannya, tapi tetap tak ada hasil.

[Mbi, sehaaat? Kamu harus sehat ya Sayang. Anak-anak tadi nonton black panther, rindu kamu banget] isi pesanku.

Mbi adalah panggilan sayang kami. Aku lupa apa yang menyebabkan kami saling memanggil Mbi. Mungkin dari baby kemudian beralih menjadi Mbi.

Hanya muncul centang satu, tak lama centang dua, tapi tak pernah centang itu berubah warna menjadi biru. Pertanda tidak dibaca.
Ku kirimi Mas Arif foto dan voice note suara anak anak. Tak ada respon.

[Mbi, aku ga tau kamu dimana, sedang apa, aku salah apa? Mbii, aku janji akan sering masak, pulang ya, Mbi]

[Aku kebangun kepikiran kamu, di mana kamu, Mas?]

Seperti biasa, pesanku hanya centang saru, beberapa menit kemudian centang dua tapi, tak pernah menjadi biru.

[Mbii, aku ke Jakarta sekarang! Aku tak peduli jika harus hilang di sana! Aku akan mencari mu sampai ketemu!] Pesanku.

Kemudian dibalas.

[Jangan sayang, batalkan kepergianmu ke Jakarta. Aku akan pulang besok!]

[Kapan?] balasku singkat.

[Besok malam, Sayang. Tunggu aku ya!]

Ku telepon dia, masih tak diangkat. Lalu ku hujani mas Arif dengan pesan singkat.

[Kirim tiket mu!] ku kirim berulang pesan itu hingga dia merespon.

[Citilink 24/2, jam 17.00. Tunggulah di rumah! Isya nanti, aku sudah di rumah, Mbi] jawabnya.

*

Suasana hening di mobil. Dia menyetir dan aku duduk di kursi penumpang menatap jalan, tapi pikiranku entah kemana.

"Mau makan?"

"Kamu dari mana?" jawabku.

"Ok. Kita bicara di rumah, ya."

Setiap dia membuka percakapan aku terus menjawabnya dengan kalimat yang sama.

"Kamu dari mana?"

Dia ganteng sekali, rapi, bersih dan wangi. Suamiku memang cenderung metroseksual, dia sangat peduli akan penampilan. Tapi, bukan itu yang membuatku jatuh cinta. Bukan fisik bukan pula harta.

Teringat saat pertama kami merintis usaha ini, aku membantunya berjualan kartu perdana seluler kepada para bule di kuta, sambil kuliah. Menjajakan pulsa dan menyewakan handphone kepada para turis. Mas Arif yang mengajari aku untuk tangguh, mengenalkan arti kerja keras.

Romantisme muncul saat uang kami tersisa sepuluh ribu. Mas Arif membeli dua bungkus nasi jinggo, masing masing seharga empat ribu. saat dimakan ternyata sudah basi.

Mas Arif tampak kecewa tidak bisa memberiku makanan yang layak. Sisa uang dua ribu, dibelikan gorengan untukku. Itulah, satu satunya makanan yang masuk keperutku. Aku terenyuh sekali. Romantis!

*

Mobil kami memasuki rumah. Anak anak menyambut dan memeluknya. Mereka rindu sekali. Selesai bermain, Arif bergegas mandi. Dan aku menidurkan anak anak. Setelah mereka terlelap aku duduk di ruang TV menanti jawaban dari berbagai pertanyaan belasan hari belakangan ini.

27 February 2019

Tanganku lancang membuka handphone Arif. Setelah pengakuannya yang lalu, aku masih belum berdamai dengan diriku. Perasaan hancurku membuat enggan membahas atau bertanya lebih jauh. Aku memilih mencari tahu dengan tanganku sendiri. Pun Arif, terkadang sosok yang dingin. Tidak sedikitpun dia berusaha mengajakku bicara, meminta maaf atau menenangkanku.

Ponselnya disembunyikan di atas rak buku. Tak sadar air mataku mengalir. Ku temui ratusan foto mereka. Hatiku tersayat ... ngilu. Aku dalam kecemasan yang amat sangat saat ia menghilang selama 12 hari.

Tapi mas Arif tidak hilang. Dia hanya berhoneymoon di Cappadocia. Kota impianku. Aku memang sudah pernah pergi ke Turki saat menunaikan ibadah umroh, bersamanya. Tapi, kali itu kami tidak menyentuh Cappadocia. Betapa remuknya hatiku melihat dia sudah pergi kes ana lebih dulu dengan istrinya yang baru. Istri muda yang baru 12 hari dinikahinya.

Aku tak kenal perempuan itu. Aku tak pernah bertemu perempuan itu.
Yang ku tahu dari suamiku, wanita itu cantik dan muda.

Aku marah dan murka. Aku merasa dikhianati. Maaf dari Mas Arif tak cukup membuatku tenang.

Ya Rabb... Ampuni aku.

*

19 September 2019

Selesai mandi, aku segera berpakaian. Ini mandi kelima ku hari ini. Entah karena gerah atau karena kebutuhanku saat ini. Menyenangkan sekali berada di bawah kucuran air. Air mataku bias dengan jatuhnya air yang menyentuh wajah. . Seperti di pijat, ku tengadahkan wajahku menghadap shower. Mata, pipi, dan dahi terkena pancuran air terasa yaman sekali.

Aku sudah segar, rapi dan wangi. Melangkah menuju kamar tidur, ku lihat jam dinding sudah menunjukkan angka sebelas malam. Anak anak tersusun rapi terpejam di kasur.

Bukan saatnya tumbang, aku bukan layangan putus yang tak tentu arah. PR ku masih banyak, keempat anak ini punya masa depan yang indah. Aku percayakan semua pada penopangku Alloh Sang Maha Baik.

Jauh di lubuk hati, doaku untuk mantan suami. Aku tidak mampu lagi menunaikan kewajiban sebagai seorang isteri untuknya. Dia resmi bukan milikku sekarang, ku lepaskan segala memori perjuangan cinta kami yang dulu.

Aku sudah tidak terikat sebagai istrinya. Semoga ia diberi kesehatan, kelancaran dalam segala urusan. Bukan saatnya memaki. Sampai kapan pun, aku tak boleh bermusuhan. Dia adalah ayah anak-anakku. Ku selipkan namanya dalam doa doaku.
Mei Inarti
Mei Inarti Seorang Guru Sekolah dan Ibu Rumah Tangga