100 Tahun Kiprah Muhammadiyah: Kiprah Pembaharuan
100 Tahun Kiprah Muhammadiyah: Kiprah Pembaharuan
Secara garis besar, kiprah pembaharuan Muhammadiyah selama satu abad dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, khususnya bagi umat Islam Indonesia, dapat dilihat dalam beberapa bagian berikut:
Muhammadiyah, yang dipelopori KHA Dahlan, datang dengan membawa spirit pembaharuan, semangat pemurnian ajaran Islam ke tengah masyarakat yang terbiasa dengan praktek-praktek takhayyul, bid’ah, dan khurafat.
Ketidakmurnian ajaran Islam yang dipahami oleh sebagian umat Islam Indonesia pada waktu itu, sebagai bentuk adaptasi tidak tuntas antara ajaran Islam dan tradisi lokal nusantara yang bermuatan faham animisme dan dinamisme. Sehingga dalam prakteknya umat Islam Indonesia memperlihatkan hal-hal yang bertentangan dengan prinsif-prinsif ajaran Islam, terutama yang berhubungan dengan prinsip akidah Islam yang menolak segala bentuk kemusyrikan, taklid, bid’ah, dan khurafat.
2. Ijtihad
Ijtihad adalah pencurahan segenap kemampuan untuk menggali dan merumuskan ajaran Islam baik dalam bidang hukum, filsafat, tasawuf, maupun disiplin ilmu lainnya berdasarkan wahyu dengan pendekatan tertentu. Majelis Tarjih merupakan lembaga khusus yang membidangi masalah agama yang terdiri dari para ulama Muhammadiyah yang berkompeten di dalam melakukan ijtihad, guna menghadapi berbagai persoalan yang muncul di tengah- tengah masyarakat. Majelis Tarjih menerima ijtihad, termasuk qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara tegas. Majelis Tarjih tidak mengikatkan diri kepada suatu mazhab, tetapi pendapat-pendapat mazhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum sepanjang sesuai dengan Al- Qur’an dan as-Sunnah atau dasar-dasar lain yang kuat.
3. Modernisasi Pendidikan
Muhammadiyah dipandang memiliki empat peran penting, yakni; sebagai agen gerakan pembaruan; agen perubahan sosial; kekuatan sosial politik; dan sebagai gerakan “membendung secara aktif” misi-misi Kristenisasi di Indonesia.
Dalam wilayah gerakan sosial, Muhammadiyah telah melakukan proses-proses pencerahan, perubahan dan pengembangan masyarakat melalui jalan modernisasi. Maksudnya, modernisasi dalam masyarakat muslim Indonesia sebagai sebuah model untuk melihat fenomena-fenomena yang terjadi di nusantara.
Dengan modernisasi ini, Muhammadiyah telah meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang modern. Sebab model-model tradisional yang pernah menjadi bagian kehidupan bangsa ini, perlahan-lahan berubah.
Modernisasi Muhammadiyah sebenarnya yang paling terang dapat dilihat dari model-model pendidikan yang dikembangkan Muhammadiyah sejak awalnya. Model pendidikan Muhammadiyah, sebenarnya merupakan model pendidikan ala Barat Kristen yang diadopsi untuk kemudian disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Modernisasi Muhammadiyah juga terlihat dalam bentuk pembangunan rumah sakit dan panti asuhan, yang merupakan karakteristik pelayanan sosial yang dilakukan oleh Barat Kristen dalam melakukan pelayanan gerejawi.
4. Beramal ilmiah, berilmu amaliah
Cerita terkenal tentang pengajaran surat Al-Maun oleh Kiai Dahlan kepada muridmuridnya menjadi landasan kuat akan berkembangnya prinsip “Beramal ilmiah, berilmu amaliah” dalam menjalankan gerak persyarikatan Muhammadiyah. Tidak cukup hanya dengan mengaji dan mengkaji saja terhadap ajaran agama Islam, namun harus melakukan tindakan nyata di lapangan. Harus beramal nyata. Beramal yang dilandasi ilmu dan ilmu yang mesti diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dari prinsip inilah kemudian lahir dan bertebaran lembaga pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, lembaga sosial, dan sekian jumlah amal usaha Muhammadiyah di berbagai pelosok negeri.
5. Sadar akan pentingnya politik tanpa harus terlibat politik praktis
Ada lima poin penting yang dapat diambil dari perjalanan K.H. Mas Mansur (Ketua PP Muhammadiyah 1936-1942) dalam berkiprah di dunia politik.
a. Politik itu urusan penting, tetapi tidak masuk ke dalam urusan Muhammadiyah
b. Jika orang Muhammadiyah mau mengurusi politik, maka ia harus bergerak di luar Muhammadiyah.
c. Muhammadiyah tidak boleh digunakan untuk kepentingan politik
d. Bagi yang bergerak di luar Muhammadiyah, harus menyelaraskan langkahnya dengan Muhammadiyah
e. Harus ada kerjasama antarkelompok umat Islam.
Prinsip-prinsip itu juga tercermin jelas berpuluh tahun kemudian, saat M. Amien Rais, Ketua Umum PP Muhammadiyah (1995-2000) meletakkan jabatannya di tahun 1998 karena panggilan sejarah untuk mendirikan partai politik sebagai wujud pengabdiannya kepada negeri setelah memimpin gerakan reformasi Mei 1998. Salah satu faktor keberhasilan Muhammadiyah dalam menjalankan misinya adalah kemampuannya memelihara jarak dengan negara, kekuasaan, dan politik sehari-hari. Muhammadiyah dalam banyak perjalanan sejarahnya cenderung melakukan political disengagement, menghindarkan diri dari keterlibatan langsung dalam politik. Hasilnya, Muhammadiyah dapat memelihara karakternya sebagai organisasi civil society.
6. Gerakan Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Muhammadiyah adalah Gerakan Islam Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar, dengan maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Muhammadiyah berpandangan bahwa Agama Islam menyangkut seluruh aspek kehidupan meliputi aqidah, ibadah, akhlaq, dan mu’amalat dunyawiyah yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan harus dilaksanakan dalam kehidupan perseorangan maupun kolektif.
7. Dakwah Kuktural
Salah satu kekhasan gerakan dakwah Muhammadiyah adalah dakwah kultural. Hakekatnya adalah berkomunikasi dengan bahasa kaumnya. Dakwah kultural bukan berarti harus kompromi terhadap adat istiadat atau budaya yang menyimpang dari ajaran Islam, tetapi lebih dipahami sebagai menyesuaikan dalam cara penyampaian dakwah agar mudah diterima oleh masyarakat.
Dakwah kultural yang dipahami oleh Muhammadiyah adalah upaya menanamkan nilai-nilai Islam dalam seluruh dimensi kehidupan dengan memperhatikan potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya secara luas dalam rangka mewujudkan tujuan Muhammadiyah, yakni Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Fokus dakwah kultural terletak pada penyadaran iman sehingga ummat manusia bersedia menerima dan memenuhi seluruh ajaran Islam meliputi akidah, akhlak, ibadah dan muammalah dengan memperhatikan tahapan perubahan social berdasarkan keragaman sosial, ekonomi, budaya dan politik suatu masyarakat hingga akhirnya tahapan ideal masyarakat Islami dapai dicapai.
(Muhammadiyah 100 tahun Menyinari Negeri, hal. 15-18)