KHA Dahlan dan Terbentuknya Muhammadiyah

KHA Dahlan dan Terbentuknya Muhammadiyah

Lahir dari seorang bapak K.H. Abu Bakar (seorang Ketib Masjid Besar Kauman Yogyakarta), dan ibu Siti Aminah, Muhammad Darwis (nama kecil Ahmad Dahlan) tumbuh dalam lingkungan kampung Kauman yang religius.
KHA Dahlan dan Terbentuknya Muhammadiyah

Semangat belajarnya yang tinggi membuatnya terus belajar dari satu guru ke guru lainnya. Hingga, ketika ia berkesempatan menunaikan ibadah haji untuk pertama kalinya, ia juga menyempatkan diri untuk menimba ilmu dari para syeikh di Makkah. Pada 1889, tidak lama setelah kepulangannya dari Makkah, Darwis yang telah berganti nama menjadi Ahmad Dahlan pun mempersunting Siti Walidah, sepupunya sendiri, puteri keempat dari Kiai Penghulu Muhammad Fadhil yang notabene saudara Siti Aminah, ibunda Ahmad Dahlan.

Tujuh tahun kemudian, setelah K.H. Abu Bakar, sang ayah wafat, K.H. Ahmad Dahlan diangkat sebagai Ketib Amin oleh Kraton, menggantikan ayahnya.

Pada periode 1898-1910 merupakan masa-masa perjuangan K.H. Ahmad Dahlan yang penuh liku-liku. Sejak menjadi Ketib Amin, Dahlan justru sering melakukan tindakan-tindakan yang saat itu dianggap nyeleneh. Bermula sejak gagasannya untuk membenarkan arah kiblat di Masjid Besar Kauman ditolak mentah-mentah, dicap Kiai kafir, hingga suraunya yang dibakar, dan berbagai cobaan lain. Semua rintangan itu tak menyurutkan semangat Dahlan untuk menghembuskan nafas pembaharuan.

Ahmad Dahlan sempat menjadi anggota Boedi Oetomo dan Jamiat Khair, dua organisasi pendahulu di tanah air. Boedi Oetomo yang dirintis oleh Dr. Wahidin Sudiro Husodo dan lebih banyak bergerak dalam ranah pemikiran, serta Jamiat Khair yang kebanyakan anggotanya adalah orang-orang Arab yang bermukim di Indonesia.

Tahun 1910 menandai kiprah awal Ahmad Dahlan dalam membangun lembaga
pendidikan yang mengkombinasikan pengajaran ilmu agama dengan ilmu umum. Sebelumnya, ilmu agama hanya diajarkan di pondok-pondok pesantren atau surausurau, sementara ilmu umum diajarkan di sekolah-sekolah Belanda. Ahmad Dahlan menganggap kedua ilmu tersebut, baik ilmu agama maupun ilmu umum, sama pentingnya untuk mendapatkan kedua hal, baik dunia maupun akhirat. Maka, ia mulai membuka “Sekolah” di ruang tamu kediamannya.

Sekolah rintisan Ahmad Dahlan itu lalu diresmikan pada 1 Desember 1911 dengan nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah.

Setelah banyak belajar tentang organisasi di Boedi Oetomo, Ahmad Dahlan lalu
membulatkan tekadnya untuk membentuk perhimpunan atau persyarikatan demi menunjang perjuangan yang dilakukannya. Setelah berdiskusi dengan para murid sekaligus sahabatnya, maka diambillah keputusan untuk mendirikan persyarikatan dengan nama Muhammadiyah. Tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H bertepatan dengan 18 November 1912 M, tonggak sejarah itu benar-benar berdiri. Muhammadiyah berdiri dengan Sembilan orang pengurus inti. Kesembilan orang tersebut adalah Ahmad Dahlan sebagai Ketua/Presiden, Abdullah Siraj sebagai Sekretaris/Juru Tulis, lalu Ahmad, Abdul Rahman, Muhammad, Sarkawi, Akis, Jaelani, dan Muhammad Fakih sebagai anggotanya.  (Diambil dari buku: Muhammadiyah 100 Tahun Menyinari Negeri, hal. 1-3)
Mei Inarti
Mei Inarti Seorang Guru Sekolah dan Ibu Rumah Tangga