Dari Jogja Menyebar Ke Penjuru Nusantara
Dari Jogja Menyebar Ke Penjuru Nusantara
Menyadari bahwa Muhammadiyah harus tumbuh berkembang terus, tidak hanya
di Yogyakarta saja, K.H. Ahmad Dahlan mengajukan permohonan untuk diizinkan mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta. Permohonan itu diajukan pada 7 Mei 1921 dan dikabulkan baru pada 2 September 1921. Setelahkeluarnya izin tersebut, baru mulailah terbentuk Cabang-cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta. Berkembangnya Cabang-cabang Muhammadiyah di luar Yogyakartaini erat kaitannya dengan dakwah dan perdagangan. Meski pada awalnya beberapa cabang berdiri tidak dengan nama Muhammadiyah karena memang tidak diperbolehkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, namun perlahan tapi pasti Muhammadiyah mulai berani menunjukkan eksistensinya di luar Yogyakarta. Tercatatdalam sejarah bahwa Cabang Muhammadiyah yang pertama berdiri diluar Yogyakarta adalah di wilayah timur Jawa yakni di Surabaya dan Blora pada 27 November 1921. Menyusul tidak terlalu lama kemudian adalah Cabang Muhammadiyah di Kepanjen Malang pada 21 Desember 1921.
Pada tahun 1922 Muhammadiyah mulai menggeliat di daerah Jakarta, Surakarta, Purwokerto, Pekalongan, dan Pekajangan. Tercatat pada tahun 1923 Muhammadiyah melebarkan sayapnya ke daerah Jawa Barat khususnya di Garut. Namun demikian, pada tahun 1920 pengaruh Muhammadiyah sudah mulai dirasakan di daerah Minangkabau dimana pada tahun itulah Muhammadiyah mulai dikenal oleh masyarakat di luar Pulau Jawa.
Berturut-turut kemudian, pada tahun 1925 Muhammadiyah berdiri di Sungai Batang dan Agam. Diawali dari Sumatera inilah mulainya Muhammadiyah berkembang di daerah Sulawesi dan Kalimantan. Pada tahun 1927 Muhammadiyah dirasakan juga di daerah Bengkulu dan Banjarmasin. Pada tahun 1930, Muhammadiyah menancapkan panjinya di ujung timur negeri ini yakni dengan resmi terbentuknya Muhammadiyah cabang Merauke. Baru kemudian pada tahun 1938 secara masif Muhammadiyah mengepakkan sayapnya di seluruh bumi Nusantara.
Pada tahun 1921, majalah Soeara Moehammadijah menjadi majalah resmi Hoofdbestuur Muhammadiyah di bawah Bagian Pustaka. Percetakan Persatuan sebagai percetakan milik Muhammadiyah juga dirintis pada tahun ini.
Setelah 11 tahun Muhammadiyah berdiri, perjuangan panjang yang dilakukan Ahmad Dahlan pun harus berakhir. Ia dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa pada 7 Rajab 1340 H / 23 Februari 1923. Raga Kiai Dahlan boleh saja pergi dari dunia ini, tapi cita-cita dan nafas perjuangannya terus dilanjutkan oleh para kader Muhammadiyah, hingga hari ini.
Dalam Perkumpulan Tahunan XII Muhammadiyah di Yogyakarta, keluar keputusan untuk memecah Kweekschool Muhammadiyah menjadi Kweekschool Muhammadiyah (kini Mu’allimin) bagi putra dan Kweekschool Isteri (kini Mu’allimat) bagi putri.
Rumah Sakit pertama Muhammadiyah berdiri pada tahun ini pula di Yogyakarta.
Berikutnya, menyusul pendirian Rumah Sakit-Rumah Sakit lain di berbagai daerah seperti Bandung, Surabaya, Makassar, Semarang, dan kota-kota lainnya.
Pada 1928, Mu’allimin dan Mu’allimaat Muhammadiyah, serta beberapa sekolah
lainnya, mulai mengirimkan lulusan-lulusannya untuk berkiprah di berbagai daerah, di penjuru negeri ini. Mereka ibarat anak panah-anak panah Muhammadiyah yang dilepaskan dari busurnya untuk mengabdi pada negeri, untuk mensyiarkan Islam melalui panji-panji Muhammadiyah.
Di tahun 1931, dalam Kongres ke-20, Siswa Praja Wanita diresmikan berubah menjadi Nasyiatul Aisyiyah, organisasi otonom yang bergerak dalam urusan puteri-puteri Muhammadiyah.
Pada tahun 1932, gerakan pemuda terpelajar Siswo Proyo Priyo (SPP) yang mengalami perkembangan yang pesat, diputuskan oleh Congress Muhammadiyah ke 21 di Makassar menjadi organisasi Pemuda Muhammadiyah. Organisasi ini merupakan bagian dari Muhammadiyah yang secara khusus mengasuh dan memdidik para Pemuda Muhammadiyah.
Pada masa pergerakan dan awal kemerdekaan RI (1940-an s.d. 1950-an) para pimpinan dan kader Muhammadiyah turut berperan menorehkan catatan sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Abdul Kahar Muzakir, Ki Bagus Hadikusumo, Mr.Kasman Singodimedjo, K.H. Faqih Usman, Mas Mansur, Panglima Besar Jenderal Soedirman, Roeslan Abdul Gani, dan masih banyak yang lainnya. Masing-masing memiliki kisah perjuangan tersendiri.
Pada Congress ke-31 Muhammadiyah di Yogyakarta, 21-26 Desember 1950, lahir beberapa keputusan penting. Salah satu keputusan vital yang hasilnya bisa dilihat kini adalah keputusan untuk mendirikan Universitas Muhammadiyah. Setelah lama berkutat dalam lembaga pendidikan dasar dan menengah, Muhammadiyah mulai memikirkan pendidikan tinggi.
7 Juli 1953, Presiden Soekarno, secara resmi, melalui sebuah surat, memberikan pengakuan akan besarnya sumbangsih Muhammadiyah dalam kehidupan bangsa dan Negara Indonesia.
Di tahun 1961, lahirlah Ikatan Pelajar Muhammadiyah, setelah dalam Muktamar II Pemuda Muhammadiyah, 24-28 Juli 1960, diputuskan untuk membentuk bagian khusus yang menangani usia pelajar. Maka IPM pun dibentuk sebagai organisasi pelajar Muhammadiyah. IPM resmi berdiri pada 18 Juli 1961. Maksud pembentukan IPM adalah untuk membina para pelajar, baik di sekolah-sekolah Muhammadiyah maupun di sekolah luar Muhammadiyah.
Tahun 1961 ini pula, pengakuan pemerintah terhadap jasa-jasa K.H. Ahmad Dahlan disampaikan melalui penetapan K.H. Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan Nasional berdasar SK Presiden no. 657 tahun 1961. Setidaknya ada 4 hal yang diakui sebagai jasa besar Ahmad Dahlan.
1) Memelopori kebangkitan umat Islam dari sebagai bangsa terjajah yang harus
menyadari dan terus berbuat serta belajar,
2) Muhammadiyah telah mengajarkan Islam yang murni pada masyarakat,
3) Muhammadiyah mempelopori amal usaha di bidang sosial dan pendidikan,
4) Muhammadiyah, melalui Aisyiyah, mempelopori kebangkitan wanita Indonesia.
Pada 1961 di Yogyakarta, digelar Kongres Mahasiswa Universitas Muhammadiyah. Saat Kongres itulah, gagasan mendirikan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah bergulir kuat. Para Tokoh Pemuda Muhammadiyah pun cukup mendukung ide ini dengan berusaha melepaskan Departemen Kemahasiswaan yang ada di tubuh Pemuda Muhammadiyah untuk berdiri sendiri.
Sebelum IMM berdiri, terlebih dahulu dilahirkan Lembaga Dakwah Muhammadiyah yang diprakarsai oleh Djazman Al-Kindi dan dikoordinasi oleh Margono, Sudibyo Markus, dan Rosyad Sholeh. LDM ini yang menjadi cikal bakal IMM. Baru pada 29 Syawal 1384 H bertepatan dengan 14 Maret 1964 M, PP Muhammadiyah meresmikan IMM.
(Diambil dari buku: Muhammadiyah 100 Tahun Menyinari Negeri, hal. 9-12)