Berdirinya Cabang, Sekolah, Ortom dan Amal Usaha Muhammadiyah

Berdirinya Cabang, Sekolah, Ortom dan Amal Usaha Muhammadiyah

Perkembangan Muhammadiyah ternyata sangat cepat. Beberapa tahun setelah
berdiri saja, telah berdiri cabang-cabang Muhammadiyah. Di Srandakan, Wonosari, Imogiri, dan lain sebagainya. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi saat itu Pemerintah Hindia Belanda tidak merestui perkembangan Muhammadiyah, karena awalnya hanya diberikan izin untuk bergerak di daerah Yogyakarta saja akhirnya di luar Yogyakarta, cabang Muhammadiyah berdiri dengan nama lain. Sebut saja Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Makassar, Ahmadiyah di Garut, dan perkumpulan SATF (Shiddiq, Amanah, Tabligh, Fathonah) di Surakarta.

Mulailah berturut-turut, Muhammadiyah mendirikan sekolah. Di Karangkajen, Yogyakarta pada 1913, di Lempuyangan tahun 1915, di Pasar Gede (Kota Gede) tahun 1916, dan seterusnya. Tahun 1918 didirikanlah sekolah bagi calon guru agama yang dinamakan Qismul Arqa. Qismul Arqa ini yang kemudian kelak menjadi Madrasah Mu’allimin dan Mu’allimaat Muhammadiyah Yogyakarta, sekolah kader enam tahun yang dikelola langsung oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Pada 1915, majalah Soewara Moehammadijah diterbitkan, menggunakan bahasa dan huruf Jawa. Majalah Soewara Moehammadijah dipimpin oleh Haji Fachrodin, dengan anggota redaksi: H. Ahmad Dahlan, H.M. Hisyam, R.H. Djalil, M. Siradj, Soemodirdjo, Djojosugito dan R.H. Hadjid. Dalam penerbitan edisi itu disebutkan pengelola administrasi: H.M. Ma’roef dibantu Achsan B. Wadana, dengan alamat redaksi dan tata usaha di Jagang Barat, Kauman, Yogyakarta. Terbitan tahun pertama dicetak di Percetakan Pakualaman.

Berikutnya pembentukan organisasi kaum perempuan Muhammadiyah, yaitu ‘Aisyiyah. Perkumpulan Muhammadiyah Isteri ini kemudian menjadi organisasi otonom khusus, ‘Aisyiyah diresmikan pada 27 Rajab 1335 H/19 Mei 1917 dalam perhelatan akbar yang meriah bertepatan dengan momen Isra Mi’raj Nabi Muhammad. Sembilan perempuan terpilih sebagai sang pemula kepemimpinan ‘Aisyiyah. Mereka antara lain adalah Siti Bariyah, Siti Dawimah, Siti Dalalah, Siti Busyro (putri KHA Dahlan), Siti Dawingah, dan Siti Badilah Zuber. Siti Bariyah mendapatkan amanah sebagai Ketua pertama ‘Aisyiyah. 

Embrio berdirinya ‘Aisyiyah telah dimulai sejak diadakannya perkumpulan Sapa
Tresna di tahun 1914, yaitu perkumpulan gadis-gadis di sekitar kampung Kauman yang diberikan pendidikan khusus oleh Kiai Ahmad Dahlan. Nama ‘Aisyiyah itu terinspirasi dari nama istri Nabi Muhammad, yaitu ‘Aisyah yang dikenal cerdas dan mumpuni. Harapannya, profil Aisyah istri Nabi itu juga menjadi profil para anggota Aisyiyah. Tahun 1919, atas prakarsa Soemodirdjo, didirikan perkumpulan Siswa Praja yang beranggotakan para pelajar Standard School Muhammadiyah. Tidak lama, ada pemisahan yang menjadikan terbentuknya Siswa Praja Wanita yang menjadi cikal bakal berdirinya Nasyiatul Aisyiyah di tahun 1931.

Menyusul pada tahun 1920, Gerakan Kepanduan Muhammadiyah dibentuk dengan nama Padvinder Muhammadiyah. Ide pembentukan Kepanduan ini berawal setelah Kiai Dahlan pulang mengisi pengajian di Surakarta. Ia melewati alun-alun Mangkunegaran dimana saat itu sekelompok pemuda yang tergabung dalam Javaannsche Padvinder Organisatie sedang berlatih baris berbaris dan kegiatan lainnya. Hal ini menyita perhatian Kiai Dahlan, ia berpikir alangkah baiknya jika Muhammadiyah pun memiliki kepanduan semacam itu. Sesampainya di Yogyakarta, Ahmad Dahlan bertemu dengan beberapa guru Muhammadiyah untuk membahas ide pembentukan kepanduan milik Muhammadiyah tersebut. 

Pada 8 Dzulhijjah 1338 H bertepatan 30 Januari 1920 M, Padvinder Muhammadiyah resmi berdiri. Pelopor gerakan ini adalah Soemodirdjo, seorang guru dan Syarbini, seorang mantan anggota militer Belanda. Atas usul R.H. Hadjid, nama Padvinder Muhammadiyah kemudian diubah menjadi Hizbul Wathan yang bermakna “Pembela Tanah Air”. Peresmian pergantian nama itu dilakukan di rumah H. Hilal di Kauman. Konon, Hizbul Wathan adalah gerakan kepanduan pribumi pertama di tanah air, setelah sebelumnya kepanduan-kepanduan yang ada merupakan bentukan kolonial Belanda.

Berdirinya Padvinder Muhammadiyah atau Hizbul Wathan menarik minat banyak
pemuda saat itu. Mereka tertarik dengan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh HW. Banyak dari mereka akhirnya memutuskan untuk bergabung.

Di tahun ini pula, Soemodirdjo, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Sekolah HIS Muhammadiyah Suronatan, kembali menelurkan ide untuk menjadikan Siswa Praja sebagai wadah kegiatan bagi siswa-siswi di lingkungan Sekolah Muhammadiyah. 

(Diambil dari buku: Muhammadiyah 100 Tahun Menyinari Negeri, hal. 3-8, dengan judul asli "Berdirinya Cabang, Sekolah, Ortom dan Amal Usaha Lainnya")
Mei Inarti
Mei Inarti Seorang Guru Sekolah dan Ibu Rumah Tangga