Pelajaran Ketiga (Falsafah Ajaran K.H. Ahmad Dahlan)
Pelajaran
Ketiga (Falsafah Ajaran K.H. Ahmad Dahlan)
Manusia
itu kalau mengerjakan pekerjaan apapun, sekali, dua kali, berulang-ulang maka
kemudian jadi biasa. Kalau sudah menjadi kesenangan yang dicintai, maka
kebiasaan yang dicintai itu sukar untuk di robah. Sudah menjadi tabi’at, bahwa
kebanyakan manusia membela adat kebiasaan yang telah diterima, baik pun dari
sudut keyakinan atau I’tiqad, perasaan kehendak mau pun amal perbuatan. Kalau
ada yang akan merobah, sanggup membela dengan mengorbankan jiwa raga. Demikian
itu karena anggapan bahwa apa yang dimiliki adalah benar.
Keterangan
: hati atau nafsu manusia itulah ada ibarat sebuah botol yang tidak berisi.
Mula – mula lahir di dunia suci-bersih, kemudian orang tuanya diberi tuntunan,
dari pergaulannya mendapat pendidikan dan pelajaran, baikpun dari teman, guru
atau pun dari orang – orang tua di kampong halamannya. Dengan demikian masuklah
beberapa pengetahuan yang mempengaruhi kepada akal fikiran, perasaan, kehendak
dan perbuatannya, tercetak dalam nafsunya hingga menjadi kesenangan dan
kepuasan dan menjadi keteguhan kemudian menganggap hanya itu yang benar.
Bilamana apa berbeda dengan dirinya dianggapnya itu salah.
Manusia
tetap seperti botol, selalu menerima sembarang apa yang mengisinya. Umpama
keturunan dari seorang yang tidak beragama, tetap akan menolak beragama. Begitu
pula anak keturunan yang beragama Kristen diisi pelajaran Kristen sampai dewasa
tetap beragama Kristen. Anak – anaka keturnan yang beragama Yahudi mulai kecil
dididik, diajar agama Yahudi sampai dewasa teguh menjalankan agama Yahudi.
Demikian seterusnya seperti botol, selalu menerima apa saja yang diisikan.
Semuanya hanya Taqlid, menirukan tingkah laku orang tuanya dan guru – gurunya,
menirukan tingkah laku temannya. Disebutkan dalam Al Qur’an surat Luqman ayat 21 :
“Bahkan kami menganut apa –
apa yang telah kami jumpai (kami terima) dari orang – orang tua kami”
Sudah menjadi kebiasaan mereka menganggap terhadap apa yang telah diterima,
itu yang benar selainnya yang tidak cocok dianggap salah dan dianggap musuh,
sehingga anggapannya itu dibela dengan mencari – cari alasan, mencari – cari
dalil untuk membela apa yang telah diterima itu dan menolak tidak memperdulikan
alasan – alasan dalil yang bertentangan dengan apa yang telah dipegang teguh.
Pernyataan syekh Muh. Abduh r.a :
“Kebanyakan manusia mula –
mula sudah mempunyai pendirian. Setelah itu baru mencari dalil dan tidak mau
mencari dalil selain yang sudah cocok dengan keyakinannya jarang sekali mereka
mencari dalil untuk dipakai dan diyakinkan.”
Pernyataan
K.H. Ahmad Dahlan : “Orang yang mencari barang yang hak itu perumpamaannya
demikian : Seumpama ada pertemuan antara orang islam dan orang Kristen, yang
beragama islam membawa kitab suci Al Qur’an dan yang beragama Kristen membawa
bible (perjanjian lam dan baru), kemudian kedua kitab suci itu diletakan diatas
meja. Kemudian kedua orang tadi mengosongkan hatinya kembali kosong sebagaimana
asal manusia tidak berkeyakinan apapun. Seterusnya bersama – sama mencari
kebenaran mencari tanda bukti yang menunjukkan kebenaran. Lagi pula pembicaraannya
denganbaik – baik tidak ada kata kalah dan menang. Begitu seterusnya.
Demikianlah kalau memang semua itu membutuhkan barang yang hak. Akan tetapi sebagian
besar daripada manusia hanya anggap – anggapan saja, diputuskan sendiri. Mana
kebiasaan yang dimilikinya dianggap benar dan menolak mentah–mentah terhadap
yang lainnya yang bertentangan dengan miliknya.
“Manusia itu semua benci
kepada yang yang tidak diketahui.”
“Maka berilah kabar gembira
kepada hambaku yang (mereka itu) mau mendengarkan ucapan, kemudian mereka itu
menganut yang lebih baik (benar). Orang–orang yang demikian ialah orang–orang
yang mendapat petunjuk dari Allah. Dan orang-orang itulah yang mempunyai hati
(akanl yang sempurna)”.
Keterangan
: manusia itu perlu sekali mendengarkan segala fatwa ucapan. Dari siapa saja
harus didengar. Jangan sampai menolak, tidak mau mendengarkan suara dari pihak
lain. Selanjutnya suara–suara tadi harus difikir sedalam–dalamnya dan ditimbang–
timbang, disaring dan dpilih mana yang benar.
Manusia
perlu mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Manusia yang tahu caranya
mencuri, tidak bisa ditetapkan sebagai pencuri kecuali kalau memang benar–benar
dia itu mencuri. Begitu juga Kristen yang faham seluk beluk tentang agama Islam, belum tetap menjadi orang kecuali
kalau dia itu benar–benar mengamalkan agama islam. Dan begitu pula sebaliknya
orang islam pun yang tahu seluk beluk agama Kristen juga tidak lalu ditetapkan
menjadi orang Kristen, kecuali kalau memang mengamalkannya tersebut dalam
hadits, nabi Muhammad saw berdo’a demikian :
“Ya Allah, perlihatkanlah
kepada kami akan barang yang hak sehingga kami dapat benar–benar mengetahui
kebenarannya. Dan kami berharap karunia dari pada engkau supaya dapat kami
mengikuti dan menetapi barang yang hak itu. Ya Tuhan Allah, kami mengharap agar
engkau memperlihatkan kepada kami akan barang yang batal (salah), sehinga kami
dapat benar–benar mengetahui kebathilannya dan kami mengharap karunia dari
engkau supaya kami dapat menjauhinya”
Keterangan : Manusia pada biasanya kalau menerima fatwa orang yang dianggap
guru besar, lalu taqlid, menurut tanpa mengetahui dalil dan tergesa– gesa
menolak fatwa dari pihak lain. Lebih– lebih kalau pihak lain itu dianggap
musuh. Pernyataan sayidina Ali r.a :
“Fikirlah apa yang diucapkan,
jangan melihat kepada orang yang mengucapkan. Kenalilah kebenaran itu dengan
pengetahuan yang benar, jangan dengan memandang orang.”
Kesimpulannya demikian : “Apa saja seperti pengetahuan, kepercayaan,
perasaan, kehendak, tingkah laku, yang kau miliki, yang tumbuhnya dari
kebiasaan jangan tergesa – gesa diputus sendiri lalu dianggap benar. Hendaklah
dipikir dahulu disbanding dan dikoreksi, apakah sungguh sudah benar.
Manusia belum
memperoleh barang hak adalah sebab karena masih bodoh akan apa sebenarnya
barang yang hak, atau sebab menolak barang yang hak, karena yang membawa yang
hak itu dianggap musuh atau bodoh.
(Sumber: Falsafah Ajaran K.H. Ahmad Dahlan, Oleh : K.R.H. Hadjid,
Edisi Revisi th 2004)