MANHAJ TARJIH DAN METODE PENETAPAN HUKUM DALAM TARJIH MUHAMMADIYAH

MANHAJ TARJIH DAN METODE PENETAPAN HUKUM DALAM TARJIH MUHAMMADIYAH*

Syamsul Anwar**
A. Pengertian

 Manhaj tarjih secara harfiah berarti cara melakukan tarjih. Sebagai sebuah istilah, manhaj tarjih lebih dari sekedar “cara mentarjih.” Istilah tarjih sendiri sebenarnya berasal dari disiplin ilmu usul fikih. Dalam ilmu usul fikih tarjih berarti melakukan penilaian terhadap suatu dalil syar’i yang secara zahir tampak bertentangan untuk menentukan mana yang lebih kuat. Atau juga diartikan sebagai evaluasi terhadap berbagai pendapat fikih yang sudah ada mengenai suatu masalah untuk menentukan mana yang lebih dekat kepada semangat al-Quran dan as-Sunnah dan lebih maslahat untuk diterima. Sebagai demikian, tarjih merupakan salah satu tingkatan ijtihad dan merupakan ijtihad paling rendah. Dalam usul fikih, tingkat-tingkat ijtihad meliputi ijtihad mutlak (dalam usul dan cabang), ijtihad dalam cabang, ijtihad dalam mazhab, dan ijtihad tarjih.

 Dalam lingkungan Muhammadiyah pengertian tarjih telah mengalami pergeseran makna dari makna asli dalam disiplin usul fikih. Dalam Muhammadiyah dengan tarjih tidak hanya diartikan kegiatan sekedar kuat-menguatkan suatu pendapat yang sudah ada, melainkan jauh lebih luas sehingga identik atau paling tidak hampir identik dengan kata ijtihad itu sendiri. Dalam lingkungan Muhammadiyah tarjih diartikan sebagai “setiap aktifitas intelektual untuk merespons realitas sosial dan kemanusiaan dari sudut pandang agama Islam, khususnya dari sudut pandang norma-norma syariah.” Oleh karena itu bertarjih artinya sama atau hampir sama dengan melakukan ijtihad mengenai suatu masalah dilihat dari perspektif agama Islam. Hal ini terlihat dalam berbagai produk tarjih seperti putusan tentang etika politik dan etika bisnis (Putusan Tarjih 2003), masalah-masalah perempuan seperti dalam Adabul Marah fil-Islam (Putusan Tarjih 1976), fatwa tentang face book yang sudah dibuat Majelis Tarijih dan Tajdid dan akan segera dimuat dalam Suara Muhammadiyah. Jadi tarjih tidak hanya sekedar menguatkan salah satu pendapat yang ada.

 Adalah jelas bahwa tarjih itu tidak dilakukan secara serampangan, melainkan berdasarkan kepada asas-asas dan prinsip tertentu. Kumpulan prinsip-prinsip dan metode-metode yang melandasi kegiatan tarjih itu dinamakan manhaj tarjih (metodologi tarjih).

B. Semangat Tarjih: Tajdid

 Metodologi tarjih memuat unsur-unsur yang meliputi wawasan/semangat, sumber, pendekatan, dan prosedur-prosedur tehnis (metode). Tarjih sebagai kegiatan intelektual untuk merespons berbagai persoalan dari sudut pandang syariah tidak sekedar bertumpu pada sejumlah prosedur tehnis an sich, melainkan juga dilandasi oleh semangat pemahaman agama yang menjadi karakteristik pemikiran Islam Muhammadiyah. Semangat yang menjadi karakteristik pemikiran Islam Muhammadiyah dimaksud diingat dalam memori kolektif orang Muhammadiyah dan akhir-akhir ini dipatrikan dalam dokumen resmi. Semangat tersebut meliputi tajdid, toleran, terbuka, dan tidak berafiliasi mazhab tertentu.
 Semangat/wawasan tajdid ditegaskan sebagai identitas umum gerakan Muhammadiyah termasuk pemikirannya di bidang keagamaan. Ini ditegaskan dalam pasal 4 ayat (1) ADM, “Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Dakwah Amar Makruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber kepada al-Quran dan as-Sunnah” (italic dari penulis). Tajdid menggambarkan orientasi dari kegiatan tarjih dan corak produk ketarjihan.

        Tajdid mempunyai dua arti:
a.      Dalam bidang akidah dan ibadah, tajdid bermakna pemurnian dalam arti mengembalikan akidah dan ibadah kepada kemurniannya sesuai dengan Sunnah Nabi saw.
b.      Dalam bidang muamalat duniawiah, tajdid berarti mendinamisasikan kehidupan masyarakat dengan semangat kreatif sesuai tuntutan zaman.

            Pemurnian ibadah berarti menggali tuntunannya sedemikian rupa dari Sunnah Nabi saw untuk menemukan bentuk yang paling sesuai atau paling mendekati Sunnah beliau. Mencari bentuk paling sesuai dengan Sunnah Nabi saw tidak mengurangi arti adanya tanawwu‘ dalam kaifiat ibadah itu sendiri, sepanjang memang mempunyai landasannya dalam Sunnah. Misalnya adanya variasi dalam bacaan doa iftitah dalam salat, yang menunjukkan bahwa Nabi saw sendiri melakukannya bervariasi. Varian ibadah yang tidak didukung oleh Sunnah menurut Tarjih tidak dapat dipandang praktik ibadah yang bisa diamalkan. 

            Berkaitan dengan akidah, pemurnian berarti melakukan pengkajian untuk membebaskan akidah dari unsur-unsur khurafat dan tahayul.

            Tajdid di bidang muamalat duniawiyah (bukan akidah dan ibadah khusus), berarti mendinamisasikan kehidupan masyarakat sesuai dengan capaian kebudayaan yang dicapai manusia di bawah semangat dan ruh al-Quran dan Sunnah. Bahkan dalam aspek ini beberapa norma di masa lalu dapat berubah bila ada keperluaan dan tuntutan untuk berubah. Misalnya di zaman lampau untuk menentukan masuknya bulan kamariah baru, khususan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah, digunakan rukyat sesuai dengan hadis-hadis rukyat dalam mana Nabi saw memerintah melakukan rukyat. Namun pada zaman sekarang tidak lagi digunakan rukyat melainkan hisab, sebagaimana dipraktikkan dalam Muhammadiyah. Contoh lain, di masa lalu perempuan tidak dibolehkan menjadi pemimpin karena hadis Abu Bakrah yang melarangnya, maka di zaman sekarang terjadi perubahan ijtihad hukum di mana perempuan boleh menjadi pemimpin sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Tarjih tentang Adabul Mar’ah fil-Islam. 

            Perubahan itu dapat dilakukan dengan memenuhi beberapa syarat, yaitu (1) ada tuntutan untuk berubah dalam rangka dinamisasi kehidupan masyarakat, (2) perubahan baru harus berlandaskan suatu kaidah syariah juga, (3) masalahnya menyangkut muamalat duniawiah, bukan menyangkut ibadah murni (khusus), dan (4) ketentuan lama bukan merupakan penegasan yang Qat‘i.  

            Toleran artinya bahwa putusan Tarjih tidak menganggap dirinya saja yang benar, sementara yang lain tidak benar. Dalam “Penerangan tentang Hal Tarjih” yang dikeluarkan tahun 1936, dinyatakan, “Keputusan tarjih mulai dari merundingkan sampai kepada menetapkan tidak ada sifat perlawanan, yakni menentang atau menjatuhkan segala yang tidak dipilih oleh Tarjih itu” [HPT: 371].

            Terbuka artinya segala yang diputuskan oleh tarjih dapat dikritik dalam rangka melakukan perbaikan, di mana apabila ditemukan dalil dan argumen lebih kuat, maka Majelis Tarjih akan membahasnya dan mengoreksi dalil dan argumen yang dinilai kurang kuat. Dalam “Penerangan tentang Hal Tarjih” ditegaskan, “Malah kami berseru kepada sekalian ulama supaya suka membahas pula akan kebenaran putusan Majelis Tarjih itu di mana kalau terdapat kesalahan atau kurang tepat dalilnya diharap supaya diajukan, syukur kalau dapat mermberikan dalil yang lebih kuat dan terang, yang nanti akan dipertimbangkan pula, diulang penyelidikannya, kemudian kebenarannya akan ditetapkan dan digunakan. Sebab waktu mentarjihkan itu ialah menurut sekedar pengertian dan kekuatan kita pada waktu itu” [HPT: 371-372].

            Tidak berafiliasi mazhab artinya tidak mengikuti mazhab tertentu, melainkan dalam berijtihad bersumber kepada al-Quran dan as-Sunnah dan metode-metode ijtihad yang ada. Namun juga tidak sama sekali menafikan berbagai pendapat fukaha yang ada. Pendapat-pendapat mereka itu dijadikan bahan pertimbangan untuk menentukan diktum norma/ajaran yang lebih sesuai dengan semangat di mana kita hidup.

C. Sumber-sumber Ajaran Agama

            Manhaj (metodologi) tarjih juga mengandung pengertin sumber-sumber pengambilan norma agama. Sumber agama adalah al-Quran dan as-Sunnah yang ditegaskan dalam sejumlah dokumen resmi Muhammadiyah,
1.       Pasal 4 ayat (1) Anggran Dasar Muhammadiyah yang telah dikutip di atas yang menyatakan bahwa gerakan Muhammadiyah bersumber kepada dua sumber tersebut.
2.      Putusan Tarjih Jakarta 2000 Bab II angka 1 menegaskan, “Sumber ajaran Islam adalah al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbūlah (السنة المقبولة).” Putusan Tarijih ini merupakan penegasan kembali apa yang sudah ditegaskan dalam putusan-putusan tedahulu (HPT, h. 278),
الأَصْلُ فِي التَّشْرِيْعِ اْلإِسْلاَمِيِّ عَلَى اْلإِطْلاَقِ هُوَ اْلقُرْآنُ اْلكَرِيْمُ وَالْحَدِيْثُ الشَّرِيْفُ .
Artinya:
Dasar mutlak dalam penetapan hukum Islam adalah al-Qur’an dan al-Hadits asy-Syarif.

            Mengenai hadis (sunnah) yang dapat menjadi hujah adalah sunnah makbulah seperti ditegaskan dalam Putusan Tarjih Jakarta tahun 2000. Istilah sunnah makbulah merupakan perbaikan terhadap rumusan lama dalam HPT tentang definisi agama Islam yang menggunakan ungkapan “sunnah sahihah”. Istilah sunnah sahihah sering menimbulkan salah faham dengan mengindektikkannya dengan hadis sahih. Akibatnya hadis hasan tidak diterima, pada hal sudah menjadi ijmak seluruh umat Islam bahwa hadis hasan juga menjadi hujah agama. Oleh karena itu untuk menghindarkan salah faham tersebut rumusan itu diperbaiki sesuai dengan maksud sebenarnya rumusan bersangkutan, yaitu bahwa yang dimaksud dengan sunnah sahihah adalah sunnah yang bisa menjadi hujah, yaitu hadis sahih dan hadis hasan. Karenanya dalam rumusan baru dikatakan “sunnah makbulah”, yang berarti sunnah yang dapat diterima sebagai hujah agama, baik berupa hadis sahih dan maupun hadis hasan.
            Hadis daif tidak dapat dijadikan hujah syar’iah. Namun ada suatu perkecualian di mana hadis daif bisa juga menjadi hujah, yaitu apabila hadis tersebut:
1)   banyak jalur periwayatannya sehingga satu sama lain saling menguatkan,
2) ada indikasi berasal dari nabi saw,
3) tidak bertentangan dengan al-Quran,
4) tidak bertentangan dengan hadis lain yang sudah dinyatakan sahih,
5)   kedaifannya bukan karena rawi hadis bersangkutan tertuduh dusta dan pemalsu hadis.   
           
            Dalam Putusan Tarjih (HPT, h. 301) ditegaskan,
الأَحاَدِيْثُ الضَّعِيْفَةُ يَعْضَدُ بَعْضُهاَ بَعْضًا لاَ يُحْتَجُّ بِهاَ إِلاَّ مَعَ كَثْرَةِ طُرُقِهاَ وَفِيْهاَ قَرِيْنَةٌ تَدُلُّ عَلَى ثُبُوْتِ أَصْلِهاَ وَلَمْ تُعاَرِضِ اْلقُرْآنَ وَالْحَدِيْثَ الصَّحِيْحَ . 
Hadis-hadis daif yang satu sama lain saling menguatkan tidak dapat dijadikan hujjah kecuali apabila banyak jalannya dan padanya terdapat karinah yang menunjukkan keotentikan asalnya serta tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis sahih.
D. Prosedur Tehnis (Metode)

            1. Metode Ijtihad
            Metode untuk menemukan suatu norma syariah menggunakan ijtihad, dan dalam praktik Muhammadiyah biasanya digunakan ijtihad kolektif. Penegasan penggunaan ijtihad ini tersirat dalam rumusan tentang qiyas dalam HPT, di mana ditegaskan.
وَمَتىَ اسْتَدْعَتِ الظُّرُوْفُ عِنْدَ مُواَجَهَةِ أُمُوْرٍ وَقَعَتْ وَدَعَتِ اْلحاَجَةُ إِلىَ اَْلعَمَلِ بِهاَ وَلَيْسَتْ هِيَ مِنْ أُمُوْرِ اْلعِبَادَاتِ اْلمَحْضَةِ وَلمَ ْيَرِدْ فِيْ حُكْمِهاَ نَصٌّ صَرِيْحٌ مِنَ اْلقُرْآنِ أَوِ السُّنَّةِ الصَّحِيْحَةِ فَاْلوُصُوْلُ إِلىَ مَعْرِفَةِ حُكْمِهاَ عَنْ طَرِيْقِ اْلاِجْتِهاَدِ وَاْلاِسْتِنْباَطِ مِنَ النُّصُوْصِ اْلوَارِدَةِ عَلَى أَساَسِ تَساَوِي اْلعِلَلِ كَماَ جَرَى عَلَيْهِ اْلعَمَلُ عِنْدَ عُلَماَءِ السَّلَفِ وَاْلخَلَفِ .
Artinya:
Bilamana perlu dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan dihajatkan untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang tak bersangkutan dengan ibadah mahdah pada hal untuk alasannya tidak terdapat nash yang sharih di dalam al-Qur’an atau Sunnah shahihah, maka jalan untuk mengetahui hukumnya adalah melalui ijtihad dan istinbat dari nash-nash yang ada berdasarkan persamaan ‘illat sebagai mana telah dilakukan oleh ulama salaf dan khalaf.

            Teks putusan ini sebenarnya menjelaskan bahwa qiyas dapat digunakan dalam menemukan hukum syar’i, namun terbatas dalam hal yang tidak menyangkut ibadah mahdah (murni). Namun dalam teks ini tersirat penggunaan ijtihad, dan satu satu bentuk ijtihad itu adalah qiyas.

            Dalam praktik Muhammadiyah (Tarjih) metode-metode ijtihad lainnya seperti penggunaan maslahah, istihsan dan lain-lain juga dapat dilakukan. Misalnya dalam fatwa Tarjih tentang penjatuhan talak di rumah secara sepihak oleh suami dinyatakan tidak berlaku. Talak dalam fatwa itu harus dijatuhklan di depan sidang Pengadilan Agama. Landasannya antara lain adalah prinsip maslahat.     
           
            2. Operasionalisasi Sumber dan Metode Pemahamannya

            Dalam mengoperasionalisasikan sumber dan metode pemahamannya dilakukan berdasarkan istiqra’ ma‘nawi. Artinya ijtihad tidak dilakukan berdasarkan satu atau dua hadis, melainkan untuk menemukan hukum satu masalah harus dilakukan penelitian terhadap berbagai sumber syariah yang ada. Dengan kata lain, ijtihad tidak dilakukan dengan berdasarkan kepada satu atau dua hadis saja, melainkan seluruh nas dan metode ijtihad terkait dihadirkan secara serentak. Contoh putusan tarjih dalam kaitan ini adalah putusan tentang seni patung (Putusan Aceh 1995). Termasuk juga dalam kaitan ini adalah ijtihad tentang penggunaan hisab.

            3. Ta’arrudh al-Adillah

Jika terjadi ta‘arudh diselesaikan dengan urutan cara-cara sebagai berikut:
a.       Al-jam‘u wa at-taufiq, yakni sikap menerima semua dalil yang walaupun zahirnya ta‘arudh. Sedangkan pada dataran pelaksanaan diberi kebebasan untuk memilihnya (takhyir).
b.      At-tarjih, yakni memilih dalil yang lebih kuat untuk diamalkan dan meninggalkan dalil yang lemah.
c.       An-naskh, yakni mengamalkan dalil yang munculnya lebih akhir.
d.      At-tawaqquf, yakni menghentikan penelitian terhadap dalil yang dipakai dengan cara mencari dalil baru.


E. Pendekatan

            Dalam Putusan Tarjih tahun 2000 di Jakarta dijelaskan bahwa pendekatan dalam ijtihad Muhammadiyah menggunakan pendekatan bayani, burhani, dan irfani. Pendekatan bayani menggunakan nas-nas syariah. Penggunaan burhani menggunakan ilmu pengetahuan yang berkembang, seperti dalam ijtihad mengenai hisab. Pendekatan irfani berdasarkan kepada kepekaan nurani dan ketajaman intuisi batin.


F. Beberapa Kaidah tentang Hadis

Kaidah 1

اَلْمَوْقُوْفُ الْمُجَرَّدُ لاَ يُحْتَجُّ بِهِ .
Hadis maukuf murni tidak dapat dijadikan hujjah.

Kaidah 2
اَلْمَوْقُوْفُ الَّذِيْ فِيْ حُكْمِ اْلمَرْفُوْعِ يُحْتَجُّ بِهِ .
Hadis maukuf yang termasuk ke dalam kategori marfu‘ dapat dijadikan hujjah.
Kaidah 3
اَلْمَوْقُوْفُ يَكُوْنُ فِيْ حُكْمِ اْلمَرْفُوْعِ إِذاَ كاَنَ فِيْهِ قَرِيْنَةٌ يُفْهَمُ مِنْهاَ رَفْعُهُ إِلىَ رَسُوْلِ اللهِ (صلعم) كَقَوْلِ ِأُمِّ عَطِيَّةَ : كُناَّ نُؤْمَرُ أَنْ نُخْرِجَ فِيْ اْلعِيْدِ اْلحُيَّضَ (اَلْحَدِيْثَ وَنَحْوَهُ).
Hadis maukuf termasuk kategori marfu‘ apabila terdapat karinah yang daripadanya dapat difahami kemarfu‘annya kepada Rasulullah saw, seperti pernyataan Ummu ‘Athiyyah: “Kita diperintahkan supaya mengajak keluar wanita-wanita yang sedang haid pada Hari Raya” dan seterusnya bunyi hadis itu, dan sebagainya.
Kaidah 4
مُرْسَلُ التَّابِعِيِّ الْمُجَرَّدُ لاَ يُحْتَجُّ بِهِ .
Hadis mursal Tabi‘i murni tidak dapat dijadikan hujjah.
Kaidah 5
مُرْسَلُ التَّابِعِيِّ يُحْتَجُّ بِهِ إِذاَ كاَنَت ثَمَّ قَرِيْنَةٌ تَدُلُّ عَلَى اتِّصاَلِهِ .
Hadis mursal Tabi‘i dapat dijadikan hujjah apabila besertanya terdapat karinah yang menunjukkan kebersambungannya.

Kaidah 6
مُرْسَلُ الصَّحاَبِيِّ يُحْتَجُّ بِهِ إِذاَ كاَنَت ثَمَّ قَرِيْنَةٌ تَدُلُّ عَلَى اتِّصاَلِهِ .
Hadis mursal Shahabi dapat dijadikan hujjah apabila padanya terdapat karinah yang menunjukkan kebersambungannya.

Kaidah 7
الأَحاَدِيْثُ الضَّعِيْفَةُ يَعْضَدُ بَعْضُهاَ بَعْضًا لاَ يُحْتَجُّ بِهاَ إِلاَّ مَعَ كَثْرَةِ طُرُقِهاَ وَفِيْهاَ قَرِيْنَةٌ تَدُلُّ عَلَى ثُبُوْتِ أَصْلِهاَ وَلَمْ تُعاَرِضِ اْلقُرْآنَ وَالْحَدِيْثَ الصَّحِيْحَ . 
Hadis-hadis dha‘if yang satu sama lain saling menguatkan tidak dapat dijadikan hujjah kecuali apabila banyak jalannya dan padanya terdapat karinah yang menunjukkan keotentikan asalnya serta tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis shahih.

Kaidah 8
اَلْجَرْحُ مُقَدَّمٌ عَلَى التَّعْدِيْلِ بَعْدَ اْلبَياَنِ الشَّافِيْ الْمُعْتَبَرِ شَرْعاً .
Jarah (cela) didahulukan atas ta‘dil setelah adanya keterangan yang jelas dan sah secara syara‘.

Kaidah 8
تُقْبَلُ مِمَّنِ اشْتَهَرَ بِالتَّدْلِيْسِ رِوَايَتُهُ إِذَا صَرَّحَ بِماَ ظَاهِرُهُ اْلاِتِّصاَلُ وَكاَنَ تَدْلِيْسُهُ غَيْرَ قاَدِحٍ فِيْ عَداَلَتِهِ .
Riwayat orang yang terkenal suka melakukan tadlis dapat diterima apabila ia menegaskan bahwa apa yang ia riwayatkan itu bersambung dan tadlisnya tidak sampai merusak keadilannya.

Kaidah 9
حَمْلُ الصَّحاَبِيِّ اللَّفْظَ الْمُشْتَرَكَ عَلَى أَحَدِ مَعْنَيَيْهِ وَاجِبُ اْلقَبُوْلِ .
Penafsiran Shahabat terhadap lafal (pernyataan) musytarak dengan salah satu maknanya wajib diterima.

Kaidah 10
حَمْلُ الصَّحاَبِيِّ الظَّاهِرَ عَلَى غَيْرِهِ اَلْعَمَلُ بِالظَّاهِرِ .
Penafsiran Shahabat terhadap lafal (pernyataan) zahir dengan makna lain, maka yang diamalkan adalah makna zahir tersebut. [Penyesuaian penempatan: Huruf H diambil dari HPT, h. 300-301(MTPPI)].

======

* Makalah disampaikan pada Acara Pelatihan Kader Tarjih Tingkat Nasional Tanggal 26 Safar 1433 H / 20 Januari 2012 di Universitas Muhammadiyah Magelang.
** Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Mei Inarti
Mei Inarti Seorang Guru Sekolah dan Ibu Rumah Tangga