Amal Ibadah dan Adab Menyambut Idul Adha
Amal
Ibadah dan Adab Menyambut Idul Adha
1.
Memperbanyak membaca tahlil, takbir, tahmid, mengerjakan amal shaleh, terutama
pada tanggal 1- 10 Dzulhijjah, bagi yang tidak sedang berhaji.
Kemuliaan
bulan Dzulhijjah, khususnya pada sepuluh hari pertama telah diabadikan dalam
al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
Demi
fajar, dan malam yang sepuluh, dan yang genap dan yang ganjil, dan malam bila
berlalu (QS. Al-Fajr (89): 1-4)
Para
ulama tafsir seperti, Ibnu Abbas ra, menafsirkan maksud malam yang sepuluh
adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Tidaklah Allah SWT bersumpah
dengan sesuatu, kecuali pada saat yang sama memberikan isyarat tentang
keagungan sesuatu tersebut. Maka, keagungan sepuluh hari awal dzulhijjah pun
semakin dapat dirasakan.
Diriwayatkan
dari Ibnu Umar, dari Nabi saw. Beliau bersabda, ”Tiada harihari dimana amal
shalih paling utama di sisi Allah dan paling dicintai-Nya melebihi sepuluh hari
pertama Dzulhijjah. Perbanyaklah pada hari itu dengan Tahlil, Takbir dan
Tahmid.” (HR. Ahmad)
Ibnu
Umar dan Abu Hurairah pada hari sepuluh pertama Dzulhijjah pergi ke pasar
bertakbir dan manusia mengikuti takbir keduanya. (HR. Al-Bukhari)
Keutamaan
dzikrullah pada sepuluh hari awal Dzulhijjah ini bisa dibagi menjadi tiga
bagian :
a.
Dzikr Mutlaq: yaitu berdzikir secara umum dan mutlak tanpa terikat waktu
khusus, sebagaimana disebutkan dalam al-Quran dalam surat al-Ahzab(33): 35.
"Sesungguhnya
laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin,
laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan
yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang
khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang
berpuasa, lakilaki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk
mereka ampunan dan pahala yang besar."
b.
Dzikir Khusus yang disyariatkan: seperti beberapa doa dan dzikir di pagi dan
sore hari, atau doa sebelum melakukan sesuatu.
c.
Dzikir yang Terikat: yang dimaksud adalah Takbir Hari Raya yang mempunyai
lafadz secara khusus dan waktu pembacaan yang terbatas pula. Untuk takbir Idul
Adha bisa dimulai dari fajar hari Arafah, hingga Ashar hari Tasyriq yang
terakhir, khususnya setelah usai shalat lima waktu.
2.
Puasa Arafah Puasa Arafah merupakan puasa sunnah yang sangat dianjurkan, sunnah
muakkad.
Puasa Arafah memiliki keutamaan yang luar biasa, sebagaimana
disebutkan dalam hadits berikut:
Diriwayatkan
dari Abu Qatadah al-Anshari ra, Rasulullah saw pernah ditanya tentang puasa
hari Arafah, beliau menjawab, “Puasa itu menghapus dosa satu tahun yang lalu
dan satu tahun berikutnya. (HR. Muslim)
Abu
Qatadah juga meriwayatkan Hadis yang lain:
Puasa
Arafah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa
Asyura (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu. (HR. Muslim).
Dalam
Hadis yang lain, Nabi saw berpuasa sembilan hari pada awal Zulhijjah, Diriwayatkan
dari Hunaidah bin Khalid, dari isterinya, dari beberapa isteri Nabi saw:
Sesungguhnya Rasulullah saw melakukan puasa sembilan hari di awal bulan
Zulhijjah, di Hari Asyura dan tiga hari di setiap bulan iaitu hari Isnin yang
pertama dan dua hari Khamis yang berikutnya. (HR. Ahmad)
3.
Berhias dengan Memakai Pakaian Bagus dan Wangi-wangian
Orang
yang menghadiri shalat Idul Adha baik laki-laki maupun perempuan dituntunkan
agar berpenampilan rapi, yaitu dengan berhias, memakai pakaian bagus (tidak
harus mahal, yang penting rapi dan bersih) dan wangi-wangian sewajarnya.
Diriwayatkan
dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi saw selalu
memakai wool (Burda) bercorak (buatan Yaman) pada setiap ‘Id (HR. Asy-Syafi’i
dalam kitabnya Musnad asy-Syafi’i)
Diriwayatkan
dari Zaid bin al-Hasan bin Ali dari ayahnya ia mengatakan: kami diperintahkan
oleh Rasulullah saw pada dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) untuk memakai
pakaian kami terbaik yang ada, memakai wangiwangian terbaik yang ada, dan
menyembelih binatang kurban tergemuk yang ada (sapi untuk tujuh orang dan unta
untuk sepuluh orang) dan supaya kami menampakkan keagungan Allah, ketenangan
dan kekhidmatan (HR. Al-Hakim dalam kitabnya al-Mustadrak, IV: 256)
4.
Tidak Makan Sejak Fajar Sampai dengan Selesai Shalat Idul Adha
Diriwayatkan
dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya (yaitu Buraidah bin alHusaib) ia
berkata: Rasulullah saw pada hari Idul Fitri tidak keluar sebelum makan, dan
pada hari Idul Adha tidak makan sehingga selesai shalat (HR. AtTirmizi)
Hikmah
dianjurkan makan sebelum berangkat shalat Idul Fitri adalah agar tidak disangka
bahwa hari tersebut masih hari berpuasa. Sedangkan untuk shalat Idul Adha
dianjurkan untuk tidak makan terlebih dahulu adalah agar daging qurban bisa
segera disembelih dan dinikmati setelah shalat ‘Id.
5.
Dianjurkan Berangkat dengan Berjalan Kaki dan Pulang Melalui Jalan Lain
Diriwayatkan
dari Muhammad bin Ubaidillah bin Abi Rafi’ dari ayahnya dari kakeknya,
bahwasanya Nabi saw mendatangi shalat ‘Id dengan berjalan kaki dan beliau
pulang melalui jalan lain dari yang dilaluinya ketika pergi. (HR. Ibnu Majah)
6.
Shalat Dihadiri oleh Semua Umat Islam
Idul
Adha merupakan peristiwa penting dan hari besar Islam yang penuh berkah dan
kegembiraan. Oleh karena itu, pelaksanaan shalat ini dihadiri oleh semua orang
Muslim, baik tua, muda, dewasa, anak-anak, laki-laki dan perempuan, bahkan
perempuan yang sedang haid, juga diperintahkan oleh Nabi saw supaya hadir.
Hanya saja mereka tidak ikut shalat dan tidak masuk ke dalam shaf shalat, namun
ikut mendengarkan pesan-pesan Idul Adha yang disampaikan oleh khatib.
Diriwayatkan
dari Ummu ‘Athiyah al-Anshariyah ia berkata: Rasulullah saw memerintahkan kami
untuk menyertakan gadis remaja, wanita yang sedang haid, dan wanita pingitan.
Adapun wanita yang sedang haid supaya tidak memasuki lapangan tempat shalat,
tetapi menyaksikan kebaikan hari raya dan dakwah yang disampaikan khatib
bersama kaum muslimin. (HR. Ahmad).
Disalin dari:
PENGEMBANGAN HPT (II): TUNTUNAN IDAIN DAN QURBAN, Oleh: Majelis Tarjih
dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, hal. 6 - 10